With money you can buy a book not knowledge..
Ya, dengan uang kita dapat membeli segala
sesuatu yang kita butuhkan. Tapi ingat, uang bukanlah segalanya. Saat weekend
asrama mengenai analisis sosial, aku belajar banyak hal yang tidak dapat
ditemukan di dalam buku.
Akhirnya sabtu
pun tiba, dan kami berangkat ke Jatiningsih desa tempat weekend kami
dilaksanakan. Setelah sampai disana, kami langsung mengikuti sesi perkenalan
dengan para Frater yang akan mendampingi kami. Aku lupa nama asli mereka siapa.
Yang aku ingat, mereka selalu kami panggil dengan Fr.Hendra, Fr.Jet-Li dan
Fr.Pak Sugeng, frater-frater ini berasal dari seminari Anging Mamiri. Ada
sejarah dibalik penamaan itu, tetapi sepertinya tak perlu aku jelaskan disini.
Kami juga berziarah ke gua maria dan mendapat materi mengenai Definisi Analisis
Sosial.
Di malam hari
pemahaman kami dan pandangan kami terhadap masyarakat sekitar serta kepedulian
kami terhadap sesama di segarkan kembali di sesi kedua. Kami kembali melihat
betapa bobroknya moral generasi muda jaman sekarang, betapa rusaknya lingkungan
sekitar serta betapa memprihatinkan bangsa ini yang dijajah oleh investor dari
luar. SDM yang melimpah tanpa kualitas di jadikan buruh yang dapat dibayar
dengan upah rendah. Dan SDA yang tumpah ruah di keruk, dan di olah oleh
perusahaan-perusahaan asing menjadi benda dengan merk bergengsi dengan label
buatan negara mereka masing-masing.
Disisi lain,
banyak orang-orang kecil yang berusaha menafkahi kehidupan mereka dengan
berbagai cara, seperti bertani, berternak, membuka kios kecil-kecilan dan juga
menenun. Sedangkan kami, yang pada umumnya terlahir ditengah keluarga yang
berkecukupan tidak paham betul mengenai arti sebuah perjuangan dalam hidup.
Keesokan
harinya, adalah waktu yang paling kami tunggu. Kami terjun langsung melihat
kehidupan masyarakat di desa itu dan berusaha turut mengalami dan merasakan
susahnya banting tulang demi sesuap nasi.
Aku sendiri
terkejut, saat mengetahui bahwa aku dan kelompokku akan di tempatkan di
keluarga yang hidup dari berternak kambing. Tertarik, takut, kaget, tapi senang
mulai kami rasakan. Jujur, aku belum pernah sekalipun berada di dekat kambing.
Sejauh ini, aku melihat kambing di pinggir jalan saat lewat dijalan tersebut.
Sepengetahuan ku, kambing itu bau. Tapi aku coba untuk dapat menikmati kegiatan
ini. Teman-teman yang lain, ada di tempatkan dikeluarga petani, pengrajin
bambu, pengrajin tikar, penenun, pembuat benang, dll.
Kami pun
menuju ke keluarga yang disana kami akan berdinamika. Setelah berkenalan dengan
bapak dan ibu di keluarga tersebut, kami pun di ajak bapak ke kandang
kambingnya dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah keluarga
tersebut.
Dan akhirnya,
aku bertemu dengan enam ekor kambing Kampung.
Ya ampuuuuun, bau nya gak nahan
!!
aku melihat raut wajah teman-teman ku yang
lain. Mereka semua menahan bau sampai dahi mereka berkerut. Aku ingin tertawa,
tapi pekerjaan menanti. Kami membantu bapak untuk membersihkan kandang kambing
tersebut. Menyapu sisa-sisa makanan yang jatuh di bawah kandang yang telah
bercampur dengan kotorannya yang sangat banyak. Dengan kotoran kambing itu
ternyata dapat dijadikan pupuk kompos. Tidak lupa kami mencari dedaunan yang
dapat dijadikan makanan kambing di kebun belakang kandang tersebut. Kami pun
asyik mencampu-campur kotoran kambing dan mengisinya kedalam karung besar agar
bapak dapat menjualnya nanti. Peluh pun berjatuhan dari dahi kami, tetapi kami
lupa akan bau kambing-kambing tersebut. Aku pun bertanya kepada bapak, berapa
harga pupuk ini sekarung, dan bapak menjawabnya,
“lima ribu rupiah perkarung
nak..”
Aku terhenyak
mendengar jawaban bapak. Lima ribu rupiah sekarung ? kami berlima mengisinya
sampai keringatan begini apalagi kalau bapak sendiri yang melakukannya. Dan
sekarung hanya di hargai lima ribu rupian ???
“segitu aja
udah bersyukur banget nak..”
kata bapaknya
lagi. Ya Tuhan, aku malu. Kadang aku lupa bersyukur, untuk berkat Tuhan yang
melimpah. Aku tak perlu bekerja seperti ini, semua sudah disediakan orang
tuaku.
Lain cerita
kelompokku lain pula cerita dari kelompok lain. Ada yang ditempatkan dikios
yang menjual benda-benda rohani. Ibu pemilik kios tersebut bercerita kalo dia
membuka kios tersebut udah hampir sepuluh tahun. Dan penghasilannya bergantung
pada banyaknya peziarah di gua Maria Jatiningsih. Pernah dalam sehari ia hanya
mendapatkan 2000 rupiah bahkan pernah tak satupun dagangannya yang laku.
Begitu pula
dengan teman-teman yang ditempatkan di tempat pengrajin bambu dan pengrajin
tikar. Mereka merasa prihatin karena hasil dari pengrajin bambu tersebut hanya
dihargai 20.000 rupiah per kodi. Dan satu tikar harganya tak sampai 10000
rupiah. Padahal untuk membuat itu semua dibutuhkan waktu yang lama dan
kesabaran yang tinggi.
Lewat weekend
ansos kali ini, banyak nilai-nilai kehidupan yang kami dapatkan. Kami di
ajarkan bagaimana kerja keras, berusaha, pantang menyerah dan berani menghadapi
tantangan. Lewat weekend ansos ini juga kami belajar untuk selalu bersyukur atas
semua berkat Tuhan dan menghargai setiap kehidupan.
With money you can buy a doctor not good
health...
With money you can buy a position not
respect...
With money you can buy blood not life...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar